Minggu, 06 April 2014

Hukum Perdata

Hukum perdata ialah aturan-aturan hukum yang mengatur tingkah laku setiap orang terhadap orang lain yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang timbul dalam pergaulan masyarakat maupun pergaulan keluarga. Hukum perdata dibedakan menjadi dua, yaitu hukum perdata material dan hukum perdata formal. Hukum perdata material mengatur kepentingan-kepentingan perdata setiap subjek hukum. Hukum perdata formal mengatur bagaimana cara seseorang mempertahankan haknya apabila dilanggar oleh orang lain.
Contoh Kasus Hukum Perdata

Kronologi Kasus Prita Mulyasari
Kasus ini berawal dari tulisan Prita Mulyasari di internet tentang kualitas pelayanan RS. Omni International  yang dikirimkan lewat e-mail ke beberapa temannya. E-mail ini kemudian tersebar luas di internet sehingga menyebabkan RS. Omni International merasa dirugikan, lalu melaporkan kasus ini ke pihak berwenang.

Selain didakwa secara pidana, Prita Mulyasari juga dituntut secara perdata oleh RS. Omni International. Dalam kasus perdata, Prita Mulyasari sebagai pihak Tergugat, sedangkan untuk pihak Penggugat terdiri dari Penggugat I; pengelola RS. Omni International, Penggugat II; Dokter yang merawat dan Penggugat III; Penanggung Jawab atas keluhan pelayanan Rumah Sakit.

Pokok materi dakwaan pidana dan gugatan perdata terkait atas tindakan Prita Mulyasari yang tidak cukup menyampaikan keluhan atas kualitas pelayanan RS. Omni International dengan mengisi lembar ” Masukan dan Saran” yang telah disediakan oleh RS. Omni International, tetapi juga mengirimkan e-mail tersebut kecustomercare@banksinarmas.com dan teman-teman Prita Mulyasari. Akibatnya, para penggugat merasa tercemar nama baiknya dan merasa dirugikan.

Aspek Pidana dalam Kasus Prita Mulyasari
Prita Mulyasari didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum secara berlapis dengan menggunakan Pasal 310 KUHP tentang Pencemaran Nama Baik, serta Pasal 311 KUHP. Isi dari pasal-pasal tersebut adalah:

1.  Pasal 310 KUHP
Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500.
Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500.
Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

2.  Pasal 311
Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1 - 3 dapat dijatuhkan.

3.  Pasal 312
Pembuktian akan kebenaran tuduhan hanya dibolehkan dalam hal-hal berikut:
Apabila hakim memandang perlu untuk memeriksa kebenaran itu guna menimbang keterangan terdakwa, bahwa perbuatan dilakukan demi kepentingan umum, atau karena terpaksa untuk membela diri;
Apabila seorang pejabat dituduh sesuatu hal dalam menjalankan tugasnya.
Selain dijerat dengan KUHP, Prita Mulyasari juga didakwa JPU telah melanggar Pasal 27 Ayat (3) Undang - Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) No 10 Tahun 2008 yang menyatakan: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan /atau pencemaran nama baik. Ancaman hukumannya pidana penjara 6 tahun”.

Pasal Pencemaran Nama Baik
Tujuan utama dari penggunaan undang-undang terkait dengan pencemaran nama baik adalah melindungi reputasi. Akan tetapi, berbagai praktek yang terjadi di sejumlah negara menunjukkan terjadinya penyalahgunaan undang-undang pencemaran nama baik untuk membungkam masyarakat melakukan debat terbuka dan meredam kritik yang sah terhadap kesalahan yang dilakukan pejabat. 

Ancaman sanksi pidana berat, seperti hukuman penjara, memberi dampak yang menghambat kebebasan berekspresi bagi warganegara.
Mahkamah Konstitusi sendiri telah memutuskan bahwa pasal-pasal Pencemaran Nama Baik, baik berupa Pasal 310 dan 311 KUHP, maupun Pasal 27 Ayat (3) UU ITE adalah konstitusional. Menurut MK, pasal-pasal tersebut merupakan pengejawantahan dari kewajiban negara untuk melindungi dan menjamin penghormatan terhadap setiap hak konstitusional seperti yang ditegaskan dalam Pasal 28 G Ayat 1 dan 2 UUD 1945. Keputusan ini diberikan oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 15 Agustus 2008 untuk Pasal 310 dan 311 KUHP.

Sedangkan keputusan atas Pasal 27 Ayat (3) UU ITE diberikan oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 5 Mei 2009. Keputusan Mahkamah Konsitusi untuk mempertahankan pasal-pasal pencemaran nama dalam sistem hukum Indonesia masih diperdebatkan oleh publik hingga saat ini karena dinilai kontraproduktif terhadap kebebasan berekspresi di negara demokratis.

Dengan masuk ke dalam ranah perdata, tidak ada lagi hukuman badan atas dakwaan pencemaran nama baik, tetapi hanya ada ganti rugi secara proporsional. Penyelesaian kasus pencemaran nama baik dengan menggunakan pendekatan hukum perdata melalui pemberian putusan ganti rugi merupakan salah satu alternatif terbaik ditinjau dari kecilnya dampak kerugian terhadap kebebasan berekspresi warga negara. Dan yang terpenting, tidak perlu ada lagi konsumen di Indonesia yang terancam masuk penjara hanya karena curhat mengenai buruknya kualitas produk/jasa yang diterimanya.

Kesimpulannya
Prita Mulyasari, ibu dua anak, mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang, Banten. Prita dijebloskan ke penjara karena alasan pencemaran nama baik. Tali yang dipakai untuk menjerat Prita adalah Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Isinya “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik“. Prita terancam hukuman penjara maksimal enam tahun dan atau denda maksimal Rp 1 miliar. 

Kasus ini bermula dari email Prita yang mengeluhkan layanan unit gawat darurat Omni Internasional pada 7 Agustus 2008. Email ke sebuah milis itu ternyata beredar ke milis dan forum lain. Manajemen PT Sarana Mediatama Internasional, pengelola rumah sakit itu, lalu merespons dengan mengirim jawaban atas keluhan Prita ke beberapa milis. Mereka juga memasang iklan di koran. Tak cukup hanya merespon email, PT Sarana juga menggugat Prita, secara perdata maupun pidana, dengan tuduhan pencemaran nama baik. 

Itu merupakan salah satu contoh dari hukum perdata. Suatu komentar atas pengeluhan yang dilakukan oleh seorang pasien terhadap suatu pelayanan dari sebuah Rumah Sakit berbuntut panjang. Masalah individu ini merebak ke public, setelah pasien menulis tentang keluhanya itu diblog. Pasal yang dijerat merupakan pasal mengenai UU ITE, yang menguat tidak bolehnya melakukan penghinaan di suatu media elektronik.

Narasumber :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar