Sabtu, 12 April 2014

Bagaimana Perkembangan HAKI di Industri Kreatif Indonesia?

Hak Kekayaan Intelektual, disingkat “HKI” atau akronim “HaKI”, adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights (IPR), yakni hak yang timbul bagi hasil olah pikir yang menghasikan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia pada intinya HKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam HKI adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia.

Kata “intelektual” tercermin bahwa obyek kekayaan intelektual tersebut adalah kecerdasan, daya pikir, atau produk pemikiran manusia (the Creations of the Human Mind) (WIPO, 1988:3). Setiap manusia memiliki memiliki hak untuk melindungi atas karya hasil cipta, rasa dan karsa setiap individu maupun kelompok. Kita perlu memahami HaKI untuk menimbulkan kesadaran akan pentingnya daya kreasi dan inovasi intelektual sebagai kemampuan yang perlu diraih oleh setiap manusia, siapa saja yang ingin maju sebagai faktor pembentuk kemampuan daya saing dalam penciptaan Inovasi-inovasi yang kreatif.

Klasifikasi Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI)
Secara umum Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) terbagi dalam dua kategori, yaitu :
  • Hak Cipta
  • Hak Kekayaan Industri, yang meliputi :
  • Hak Paten
  • Hak Merek
  • Hak Desain Industri
  • Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
  • Hak Rahasia Dagang
  • Hak Indikasi
Pesatnya perkembangan industri kreatif di Tanah Air harus diimbangi dengan dukungan perlindungan hak atas kekayaan intelektual (HKI). Melalui proteksi ini, diharapkan industri kreatif, dengan keunggulan produknya, mampu bertahan dan memiliki nilai tambah di tengah maraknya pembajakan. Menurut Wakil Presiden Boediono, kemajuan dunia usaha tentunya tidak dapat dilepaskan dari pembangunan di bidang ekonomi yang pelaksanaannya dititikberatkan pada sektor industri.

"Untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan dunia usaha yang dititikberatkan pada sektor industri, faktor perangkat hukum, khususnya perangkat hukum kekayaan intelektual, sangat memegang peran penting guna memberikan adanya kepastian hukum yang jelas dan tegas dalam melindungi kepentingan para pelaku usaha dan masyarakat," kata Boediono dalam Pekan Produk Kreatif Indonesia 2013 di Epiwalk Epicentrum di Jakarta, baru-baru ini.

Dia menambahkan penegakan hukum, khususnya hukum kekayaan intelektual, diharapkan mampu mengantisipasi kemajuan di setiap sektor usaha, khususnya sektor industri. Wapres menekankan perlunya dukungan HKI terhadap industri kreatif agar ada proteksi pada kreativitas yang telah dibuat. Ia juga menyebutkan dengan adanya dukungan HKI, akan ada keuntungan dari sisi pembiayaan. Meski mengingatkan pentingnya tercatat dalam HKI, Wapres juga menekankan agar para kreator mengikuti aturan main yang ada, baik peraturan maupun etika.

Di sisi lain, Wapres mengakui, masih ada aturan tumpang tindih yang membuat kreator muda bingung. "Kunci dari perkembangan ekonomi kreatif ialah manusia kreatif. Jadi, jumlah anak muda kreatif Indonesia harus ditingkatkan," katanya. Sementara itu, Direktur Jenderal HKI, Kemkum dan HAM, Ahmad M Ramli, mengatakan HKI memegang peranan penting dalam perkembangan sektor industri. Melalui HKI, dapat dihasilkan penemuan baru, teknologi canggih, kualitas tinggi, maupun standar mutu.

"Semakin tinggi tingkat kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, tentunya akan makin maju perkembangan HKI dan makin cepat perkembangan sektor industri," katanya. Selain itu, HKI merupakan basis perdagangan karena HKI menjadi dasar perkembangan perdagangan yang menggunakan merek terkenal sebagai goodwill, lambang kualitas dan standar mutu, sarana menembus pasar, baik domestik maupun internasional.

Begitu pentingnya HKI dalam pembangunan sektor industri, sudah seharusnya HKI perlu dilindungi oleh hukum. Ahmad menjelaskan secara garis besar HKI dibagi dalam dua, yaitu hak cipta (copyright) dan hak kekayaan industri (industrial property rights), yang mencakup paten (patent), desain industri (industrial design), merek (trademark), penanggulangan praktik persaingan curang (repression of unfair competition), desain tata letak sirkuit terpadu (layout design of integrated circuit), dan rahasia dagang (trade secret).

Untuk mengajukan HKI, katanya, cukup mudah, yaitu dengan mengisi formulir permohonan secara tertulis ke Ditjen HKI, membayar biaya sesuai dengan objek HKI yang akan dilindungi, lampiran wajib sesuai dengan objek HKI yang akan dilindungi dan setiap lampiran wajib, harus mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan objek HKI yang akan dilindungi.

Sumber:

Minggu, 06 April 2014

Hukum Perdata

Hukum perdata ialah aturan-aturan hukum yang mengatur tingkah laku setiap orang terhadap orang lain yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang timbul dalam pergaulan masyarakat maupun pergaulan keluarga. Hukum perdata dibedakan menjadi dua, yaitu hukum perdata material dan hukum perdata formal. Hukum perdata material mengatur kepentingan-kepentingan perdata setiap subjek hukum. Hukum perdata formal mengatur bagaimana cara seseorang mempertahankan haknya apabila dilanggar oleh orang lain.
Contoh Kasus Hukum Perdata

Kronologi Kasus Prita Mulyasari
Kasus ini berawal dari tulisan Prita Mulyasari di internet tentang kualitas pelayanan RS. Omni International  yang dikirimkan lewat e-mail ke beberapa temannya. E-mail ini kemudian tersebar luas di internet sehingga menyebabkan RS. Omni International merasa dirugikan, lalu melaporkan kasus ini ke pihak berwenang.

Selain didakwa secara pidana, Prita Mulyasari juga dituntut secara perdata oleh RS. Omni International. Dalam kasus perdata, Prita Mulyasari sebagai pihak Tergugat, sedangkan untuk pihak Penggugat terdiri dari Penggugat I; pengelola RS. Omni International, Penggugat II; Dokter yang merawat dan Penggugat III; Penanggung Jawab atas keluhan pelayanan Rumah Sakit.

Pokok materi dakwaan pidana dan gugatan perdata terkait atas tindakan Prita Mulyasari yang tidak cukup menyampaikan keluhan atas kualitas pelayanan RS. Omni International dengan mengisi lembar ” Masukan dan Saran” yang telah disediakan oleh RS. Omni International, tetapi juga mengirimkan e-mail tersebut kecustomercare@banksinarmas.com dan teman-teman Prita Mulyasari. Akibatnya, para penggugat merasa tercemar nama baiknya dan merasa dirugikan.

Aspek Pidana dalam Kasus Prita Mulyasari
Prita Mulyasari didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum secara berlapis dengan menggunakan Pasal 310 KUHP tentang Pencemaran Nama Baik, serta Pasal 311 KUHP. Isi dari pasal-pasal tersebut adalah:

1.  Pasal 310 KUHP
Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500.
Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500.
Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

2.  Pasal 311
Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1 - 3 dapat dijatuhkan.

3.  Pasal 312
Pembuktian akan kebenaran tuduhan hanya dibolehkan dalam hal-hal berikut:
Apabila hakim memandang perlu untuk memeriksa kebenaran itu guna menimbang keterangan terdakwa, bahwa perbuatan dilakukan demi kepentingan umum, atau karena terpaksa untuk membela diri;
Apabila seorang pejabat dituduh sesuatu hal dalam menjalankan tugasnya.
Selain dijerat dengan KUHP, Prita Mulyasari juga didakwa JPU telah melanggar Pasal 27 Ayat (3) Undang - Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) No 10 Tahun 2008 yang menyatakan: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan /atau pencemaran nama baik. Ancaman hukumannya pidana penjara 6 tahun”.

Pasal Pencemaran Nama Baik
Tujuan utama dari penggunaan undang-undang terkait dengan pencemaran nama baik adalah melindungi reputasi. Akan tetapi, berbagai praktek yang terjadi di sejumlah negara menunjukkan terjadinya penyalahgunaan undang-undang pencemaran nama baik untuk membungkam masyarakat melakukan debat terbuka dan meredam kritik yang sah terhadap kesalahan yang dilakukan pejabat. 

Ancaman sanksi pidana berat, seperti hukuman penjara, memberi dampak yang menghambat kebebasan berekspresi bagi warganegara.
Mahkamah Konstitusi sendiri telah memutuskan bahwa pasal-pasal Pencemaran Nama Baik, baik berupa Pasal 310 dan 311 KUHP, maupun Pasal 27 Ayat (3) UU ITE adalah konstitusional. Menurut MK, pasal-pasal tersebut merupakan pengejawantahan dari kewajiban negara untuk melindungi dan menjamin penghormatan terhadap setiap hak konstitusional seperti yang ditegaskan dalam Pasal 28 G Ayat 1 dan 2 UUD 1945. Keputusan ini diberikan oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 15 Agustus 2008 untuk Pasal 310 dan 311 KUHP.

Sedangkan keputusan atas Pasal 27 Ayat (3) UU ITE diberikan oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 5 Mei 2009. Keputusan Mahkamah Konsitusi untuk mempertahankan pasal-pasal pencemaran nama dalam sistem hukum Indonesia masih diperdebatkan oleh publik hingga saat ini karena dinilai kontraproduktif terhadap kebebasan berekspresi di negara demokratis.

Dengan masuk ke dalam ranah perdata, tidak ada lagi hukuman badan atas dakwaan pencemaran nama baik, tetapi hanya ada ganti rugi secara proporsional. Penyelesaian kasus pencemaran nama baik dengan menggunakan pendekatan hukum perdata melalui pemberian putusan ganti rugi merupakan salah satu alternatif terbaik ditinjau dari kecilnya dampak kerugian terhadap kebebasan berekspresi warga negara. Dan yang terpenting, tidak perlu ada lagi konsumen di Indonesia yang terancam masuk penjara hanya karena curhat mengenai buruknya kualitas produk/jasa yang diterimanya.

Kesimpulannya
Prita Mulyasari, ibu dua anak, mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang, Banten. Prita dijebloskan ke penjara karena alasan pencemaran nama baik. Tali yang dipakai untuk menjerat Prita adalah Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Isinya “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik“. Prita terancam hukuman penjara maksimal enam tahun dan atau denda maksimal Rp 1 miliar. 

Kasus ini bermula dari email Prita yang mengeluhkan layanan unit gawat darurat Omni Internasional pada 7 Agustus 2008. Email ke sebuah milis itu ternyata beredar ke milis dan forum lain. Manajemen PT Sarana Mediatama Internasional, pengelola rumah sakit itu, lalu merespons dengan mengirim jawaban atas keluhan Prita ke beberapa milis. Mereka juga memasang iklan di koran. Tak cukup hanya merespon email, PT Sarana juga menggugat Prita, secara perdata maupun pidana, dengan tuduhan pencemaran nama baik. 

Itu merupakan salah satu contoh dari hukum perdata. Suatu komentar atas pengeluhan yang dilakukan oleh seorang pasien terhadap suatu pelayanan dari sebuah Rumah Sakit berbuntut panjang. Masalah individu ini merebak ke public, setelah pasien menulis tentang keluhanya itu diblog. Pasal yang dijerat merupakan pasal mengenai UU ITE, yang menguat tidak bolehnya melakukan penghinaan di suatu media elektronik.

Narasumber :